Central News Merauke

 

SOBAT KALENG INGIN SEKOLAH LAGI JIKA ADA YANG MAU BANTU

Picture
Teriknya matahari siang itu dirasakan sangat menyengat dan membuat tenggorokan empat sekawan Jeky, Rio, Sito dan Nur, mereka berhenti disebuah Kios yang terletak di lorong At-Taqwa Seringgu. Setelah memarkirkan gerobak reot yang selalu menjadi teman setiap kali bergrilia mencari kaleng dan besi tua, mereka sejenak bersantai disebuah bangku didepan kios tempat mereka berhenti. Empat kawanan itu begitu asik berbincang sambil tertawa cukup riang hingga salah satu dari mereka mengeluarkan beberapa uang ribuan dari saku celananya, kemudian bergegas memasuki kios untuk membeli beberapa minuman yang dikemas dalam gelas plastik, ribuan yang masih tersisa dibelikan beberapa batang rokok eceran.

Mereka begitu asik bercerita dengan penuh canda tawa seperti tak berbeban, meski beberapa butiran keringat yang terlihat jelas ditangan dan leher mereka tidak dapat menutupi lelah setelah seharian mencari kaleng dan besi tua. Jeki (13) asal kabupaten Mappi saat ini masih bersekolah di SD Biangkuk kelas lima, Rio (13) asal Bade masih mengenyam pendidikan di SD Biangkuk kelas enam.  Sementara Seto dan Nur yang berasal dari Kimam tidak seberuntung kedua kawan seperjuangannya, mereka putus sekolah sejak kelas dua SD lantaran latar belakang keluarga dengan ekonomi yang sangat pas-pasan, miris rasanya melihat anak sekecil itu bergelut dengan pekerjaan diusia sekolah. Lebih memprihatinkan lagi ketika Seto dan Nur disodorkan pertanyaan berapa usia mereka, hanya jawaban tidak tahu yang keluar dari bibir mereka.

Empat kawanan ini biasanya mencari kaleng, botol plastik dan besi tua dihampir seluruh ruas jalan yang ada di Merauke, biasanya mulai berkumpul bersama disuatu tempat yang sudah mereka janjikan dan kemudian menuju ke tempat mereka biasa menjual hasil yang sudah mereka kumpulkan seharian untuk meminjam gerobak dan karung, barulah kemudian mereka mulai menyusuri setiap lintas jalan yang ada di Merauke.

“Biasa kita cari kaleng kalo su pulang dari sekolah biasa hanya buka baju seragam saja baru kita ke Pakde yang biasa beli kaleng baru ambil gerobak,” ujar Jeky yang tampaknya lebih cerdas dibandingkan ketiga temannya.

Biasanya empat kawanan ini juga memunguti besi tua namun karena permintaan dari sang pembeli untuk mencari botol plastik saja, sehingga mereka hanya mengumpulkan botol plastik saja. “Om pinjam korek kah,” sergah Jeky disela perbincangan dengan CNM, tampaknya Jeky sudah terbiasa merokok terlihat dari caranya membakar rokok lagaknya seperti orang dewasa, yang kemudian Rio mengikuti untuk membakar rokok yang dibelinya di kios.

Sehari-hari dari hasil jerih payah mereka biasanya mendapatkan uang sebesar Rp20.000,-. Sebelumnya mereka bersama-sama mengumpulkan kaleng, botol platik dan besi tua, namun karena pendapatan yang didapatkan harus dibagi empat, sehingga dari kesepakatan mereka bersama akhirnya memutuskan untuk menggunakan karung untuk masing-masing, sehingga mereka bisa menikmati pendapatan secara utuh.

“Biasa uang yang saya dapat pakai beli makan di warung, kami tra biasa makan di rumah kalo su habis makan di warung baru biasa sore kami pulang, biasa juga kalau dapat uang lebih kami kasih ke mama,” ujar Jeky.

Berbeda dengan Seto dan Nur yang mengaku tidak pernah merokok sehingga uang yang mereka dapatkan dari hasil mencari kaleng dan besi tua biasanya diberikan kepada orang tua angkat mereka.

Ketika disinggung soal sekolah Seto dan Nur menunduk dan nampak termangu penuh arti, tampak jelas keinginan bersekolah masih ada dalam benak mereka berdua. “Kalo ada yang mau bantu mau kasih sekolah kami masih mau sekolah kembali, kalo sa bisa sekolah sa mau jadi polisi,” sergah Seto. Alasan sederhananya bercita-cita menjadi seorang Polisi karena akan tampak gagah dengan seragam polisi dan bisa membantu masyarakat.

Minimnya pengetahuan orang tua, kurangnya perhatian terhadap anak dan faktor ekonomi serta beberapa faktor lain menjadi salah satu penyebab meningkatnya  jumlah anak– anak seperti mereka, “Tetapi untuk Kabupaten Merauke belum bisa dikategorikan anak jalanan atau child street, dimana masih dikategorikan anak tradisional, karena baru boleh dikatakan child street jika 24 jam mereka menghabiskan waktunya di jalanan,” ujar Bidang Rehabilitasi Sosial Seksi Kesejahteraan Anak, Remaja dan Lansia Dinas Sosial Kabupaten Merauke, Theresia Widyastuti. R.SST.

Lebih lanjut ia mengatakan, jumlah yang ditelantarkan atau yang seharusnya bersekolah tetapi tidak bersekolah atau putus sekolah lantaran beberapa faktor, kurang lebih berjumlah 300 anak, namun setiap tahunnya tidak menunjukan peningkatan jumlah yang siknifikan.

“Jika dilihat dari jumlah tersebut dan survey, kebanyakan anak-anak ini bukan asal Merauke tetapi dari luar Merauke seperti kabupaten Mappi dan Asmat,” ujar Widyastuti. Mereka yang berasal dari luar Merauke inilah yang lebih menonjol dan mereka lebih berani surfive ketimbang anak Malind, kalau anak asli Merauke biasanya mereka tidak berani keluar atau lebih memilih tinggal dirumah saja, meskipun mereka lapar atau sakit, tidak ada keberanian untuk keluar melainkan berdiam diri dirumah.

“Ditelantarkan bukan berarti orang tua mereka tidak sayang kepada mereka tetapi para orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan anak yang seharusnya diberikan, hal ini juga yang mempengaruhi psikologis anak,” sergah Widyastuti.

Diusia mereka yang masih sangat dini mereka dapat terseret dalam pergaulan yang salah, selain itu dengan akses informasi yang semakin luas dan bisa diakses siapa dan kapan saja juga mempengaruhi sehingga dapat menyebabkan anak terjerumus dalam pergaulan bebas, merokok, minum minuman keras, menonton VCD Porno, aibon dan lain-lain.

 Dengan pendidikan dan perhatian yang minim sehingga apa yang mereka lakukan dianggap baru dan cenderung mencoba melakukannya, akhirnya mereka sudah mengenal sex, terkadang melakukan sodomi antar teman dan lain-lain.

Setiap tahunnya Dinsos ada program untuk menangani hal tersebut yang sifatnya rehabilitasi dan penanganan, tetapi belum kepada tindak lanjut karena sifatnya masih kuratif dan insidential. “Setiap tahunnya ada bantuan dan sentuhan yang dilakukan, seperti membina dalam hal keterampilan dan lain sebagainya, namun respon dari mereka cenderung biasa-biasa saja,” tutup Widyastuti.

Meskipun harga kaleng, besi tua dan botol plastik mengalami penurunan harga jual dari para pembeli kaleng, Jeky dan kawan-kawan tetap bertahan, mereka tampaknya begitu menikmati pekerjaan yang mereka lakoni sebagai pemungut kaleng bekas.

“Beberapa bulan yang lalu harga kaleng, besi tua dan botol plastik cukup baik, namun akhir-akhir ini mengalami penurunan yang cukup drastis,” ujar penampung Iman Jaya, Ibrahim yang ditemui ditempat terpisah.

Selama beberapa tahun menjadi pembeli kaleng Ibrahim merasa untuk kali ini harga kaleng dan besi tua anjlok hingga 50 persen. Mengenai harga kaleng bekas Ibrahim membeli dari para pengumpul dengan harga Rp8.000/Kg, sementara untuk jenis besi tua biasanya dihargai dengan Rp1.500 hingga 1.700/Kg. **Yudhi**